Sulsel.relasipublik.com LUWU — Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar mengungkapkan peristiwa korban 40 ribu jiwa di Sulawesi Selatan hingga kini masih menyimpan misteri. Apakah benar telah jatuh korban 40 ribu jiwa yang terbantai tanpa perlawanan?
Kapten Raymond Paul Pierre Westerling dengan pasukan khususnya, Depot Speciale Troepen DST KNIL merupakan aktor atau pelaku utama atas tragedi tersebut. Korbannya tersebar di Makassar, Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare.
Westerling mengeksekusi rakyat yang tidak berdaya di lapangan terbuka disaksikan secara umum oleh rakyat. Westerling sengaja menyebarkan teror dengan cara membantai rakyat setiap hari dari puluhan hingga ratusan korban dari bulan Desember 1946 hingga Februari 1947.
Kebrutalan Westerling merajalela meneror rakyat agar menghentikan perlawanan kepada Belanda, biar kapok dan takut. Itulah cara Westerling beserta anak buahnya yang direkrut secara terpilih dari pasukan KNIL. Jumlahnya kurang lebih 100-an pasukan dengan persenjataan lengkap dan modern pada waktu itu.
Apa yang dilakukan Westerling bersama anak buahnya terhadap rakyat Sulsel sesungguhnyamerupakan pembersihan musuh secara keji dan tidak terhormat. Jelas, itu merupakan sebuah pelanggaran HAM berat. Tetapi pemerintah Belanda membelanya dengan menyatakan bahwa itu semacam tindakan darurat dalam masa perang.
Bahkan Media Belanda, Het Militair Weekblad memberikan penghargaan kepada Westerling dengan gelar yang heroik melalui headline dengan judul “Pasukan si Turki kembali”. Westerling pun lolos dari hukuman pengadilan Mahkamah Belanda di tahun 1954 atas tuduhan kejahatan perang.
Westerling pun bebas melenggang menikmati masa tuanya dengan bekerja sebagai petugas pantai hingga menikmati sisa umurnya dengan membukukan riwayat hidupnya dengan judul “Memoires” yang terbit di tahun 1952 dan “De Eenling” tahun 1982 hingga Westerling meninggal di usia 68 tahun pada tahun 1987.
Semasa hidup, Westerling membantah dan menyangkali bahwa ia telah membunuh 40 ribu jiwa di Sulsel. Professor Salim said, Wartawan senior asal Sulsel pernah menemui Westerling di Belanda dan mewawancarainya. Menurut penuturan Westerling yang jatuh korban hanya 463 orang bukan 40 ribu.
Sementara versi sejarawan Anhar Gonggong jumlah korban ada 10 ribu orang, versi Angkatan Darat RI 1.700 orang, lalu versi Pemerintah Belanda pada tahun direalease 1969 berjumlah 3 ribu korban jiwa. Tidak ada angka akurat yang disepakati semua pihak.
Lalu bagaimana halnya dengan klaim korban 40 ribu jiwa? Sebagai pakar dalam sejarah militer di Indonesia, Salim said berkesimpulan bahwa klaim 40 ribu jiwa itu hanyalah simbol dan mitos sebagaimana jumlah angka Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun.
Lantas dari mana munculnya angka 40 ribu korban tersebut? Inilah yang menarik untuk diungkap, terkait istilah 40 ribu jiwa tersebut. Apa motif dan targetnya serta bagaimana latar belakangnya, sehingga muncul istilah “Korban 40 ribu Jiwa”.
Dari berbagai sumber sejarah, diantaranya Dr. Edwar Poelinggomang dan Prof. Dr. Rasyid Asba menuturkan bahwa istilah Korban 40 ribu jiwa adalah bermula diluncurkan oleh Letkol. Abd. Qahhar Mudzakkar pemimpin Laskar TRIPS di Jawa.
Bermula dari pidato Bung Karno yang selalu mengisahkan secara tragis peristiwa penyiksaan secara keji oleh militer Belanda di Jawa Timur yang mengakibatkan tewasnya 40 orang yang pro-Republik Indonesia. Kejadiannya pada 23 November 1947 dimana sekitar 100 pejuang Republik ditawan oleh Belanda yang diangkut kereta api dari Bondowoso ke Wonokromo, Surabaya.
Mereka disekap dalam gerbong dengan berdesakan hingga menyesakkan karena ventilasi udara KA yang tak memadai (kecil). Akibatnya, jatuh korban tewas 40 orang di dalam gerbong. Mereka yang tewas itu, disebut korban “Gerbong Maut”. Peristiwa itu selalu dieksploitasi secara positif oleh Bung Karno dalam setiap pidatonya yang kemudian sampai ke telinga Letkol Abd. Qahhar Mudzakkar.
Sementara itu, Abd.Qahhar pun menerima laporan dari anak buahnya yang dari Sulsel untuk bergabung dengan pasukannya bahwa yang terjadi di Sulsel justru lebih mengerikan lagi, yaitu telah terjadi pembantaian dengan korban yang lebih besar secara terbuka dengan keji di beberapa daerah yang dipimpin oleh perwira Belanda, Kapten Raymond Paul Pierre Westerling.
Sebagai pejuang Republik, hati Abdul Qahhar tersayat dan pikirannya pun berkecamuk jika mendengar pidato Bung Karno atas tewasnya 40 orang di Gerbong Maut KA. Ia membandingkan dengan ribuan korban di Sulawesi oleh pihak yang sama tetapi tidak pernah disinggung oleh pemimpin bangsa, Bung Karno.
Qahhar gelisah dan terusik jiwa kemanusiaan dan patriotismenya. Maka pada kesempatannya, ia bersama pasukannya bertemu dengan Bung Karno di sekitar akhir 1947, Qahhar pun menyampaikan langsung ke Bung Karno bahwa di Sulsel telah terjadi pembantaian oleh Belanda yang telah menelan korban 40 ribu jiwa.
Sebuah angka yang pasti mencengangkan saat itu. Jika dibandingkan 40 orang yang tewas di “Gerbong Maut” yang senantiasa di konstantir oleh Bung Karno dalam setiap pidatonya untuk menggugah semangat kepahlawanan, maka itu lebih kecil artinya.
Boleh jadi, Qahhar saat itu menggunakan psikologi superlatif dari jumlah 40 menjadi 40 ribu untuk menggugah nurani dan patriotisme Bung Karno dan itu berhasil. Bung Karno tersentuh dan terharu. Maka sejak 11 Desember 1947 di ibu kota RI Yogyakarta diselenggarakan upacara peringatan 40 ribu jiwa.
Meski pun belakangan tidak ada lagi peringatan nasional mengenang korban 40 ribu jiwa. Ini tentu mengundang tanda tanya besar, bahwa apakah itu merupakan dememorisasi jasa kepahlawan Abd. Qahhar Mudzakkar atas jasanya menasionalisasi tragedi korban 40 ribu jiwa? Sangat bisa jadi, terlepas akurat tidaknya angka 40 ribu jiwa tersebut.
Yang pasti atas kepekaan dan kecerdasan Qahhar, telah berhasil menggugah Bung Karno saat itu untuk menyetujui dan mendukung Qahhar dan memeringati Korban 40 ribu jiwa sebagai tragedi nasional yang patut diperingati setiap tahun. Pertanyaan selanjutnya, apakah pada saat memeringati Korban 40 ribu jiwa di Sulsel juga sekaligus ada kilas balik sejarah bahwa terangkatnya tragedi Korban 40 ribu jiwa adalah berkat jasa Abd. Qahhar Mudzakkar?
Sehingga pun pada tanggal 12 September 2013 Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Duta Besarnya di Indonesia, Tjeerd de Zwaan akhirnya menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada ahli waris korban dan membuat kesepakatan untuk memberi kompensasi senilai 20 ribu Euro (sekitar 300 juta) bagi setiap ahli waris korban. Sekali lagi tentu itu tidak terlepas x dari jasa-jasa Abd. Qahhar Mudzakkar yang telah berhasil mengamplipikasi peristiwa Korban 40 ribu jiwa. (Run)
Discussion about this post